Kamis, 19 April 2012

TEORI KEPEMIMPINAN


A.    MODEL KONTIJENSI KEPEMIMPINAN

Kepemimpian adalah mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum (Harold Koontz)
Konsep kepemimpinan dapat dilihat dari dua kubu, yaitu Kubu Determinisme yang menganggap bahwa pemimpin dilahirkan (Takdir), dan kubu Non Determinisme yang menganggap bahwa pemimpin merupakan suatu proses (dapat dipelajari).

Berbagai penelitian tentang kepemimpinan telah melahirkan berbagai Pendekatan dalam studi kepemimpinan, seperti : pendekatan kesifatan, perilaku dan situasional.

·         Pendekatan kesifatan, memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat (traits) yang tampak pada seseorang.
·         Pendekatan perilaku, bermaksud mengidentifikasi perilaku-perilaku (behaviors) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif.
·         Pendekatan situasional, menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektifitas kepemimpinan bervariasi dengan situasi-tugas-tugas yang dilakukan, keterampilan dan penghargaan bawahan, lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan. Pandangan situasional ini telah menimbulkan pendekatan contingency pada kepemimpinan, yang bermaksud untuk menetapkan faktor-faktor situasional yang menentukan seberapa besar efektifitas gaya kepemimpinan tertentu.

Pendekatan situasional ini muncul karena para peneliti mengenai gaya kepemimpinan tidak menemukan pendekatan yang paling efektif bagi semua situasi (Fielder, dengan teori contingency, Tannembaum dan Schmidt, dengan teori rangkaian kesatuan kepemimpinan (leadership continuum), Hersey dan Blanchard, dengan teori siklus kehidupan).

LPC (Least Preferred Co-worker) CONTINGENCY MODEL (Fielder)

Model kontijensi efektifitas kepemimpinan ini menyimpulkan bahwa seorang menjadi pemimpin bukan hanya karena kepribadian yang dimilikinya, tetapi juga karena berbagai faktor situasi dan saling hubungan antara pemimpin dengan bawahan.
Keberhasilan seorang pemimpin tergantung (contingent) baik kepada keadaan diri pemimpin maupun kepada keadaan organisasi
Pemimpin yang cenderung berhasil pada situasi tertentu belum tentu berhasil pada situasi yang lain.

Variabel Situasional

Fielder mengemukakan 3 dimensi variabel situasional yang mempengaruhi gaya kepemimpinan, yaitu :
1. Hubungan pemimpin dengan bawahan (anggota) (Leaser-Member Relations), sejauhmana pimpinan diterima oleh anggotanya.
2. Posisi kekuasaan atau Kekuatan posisi (Position Power), kekuasaan dari organisasi, artinya sejauhmana pemimpin mendapatkan kepatuhan dari bawahannya dengan menggunakan kekuasaan yang bersumber dari organisasi secara formal (bukan kekuasaan yang berasal dari kharisma atau keahlian).
Pemimpimpin yang memiliki kekuasaan yang jelas (kuat) dari organisasi akan lebih mendapatkan kepatuhan dari bawahannya.
3. Struktur Tugas (Task Structure), Kejelasan tugas dan tanggung jawab setiap orang dalam organisasi. Apabila tatanan tugas cukup jelas, maka prestasi setiap orang yang ada dalam organisasi lebih mudah dikiontrol dan tanggung jawab setiap orang lebih pasti.

Berdasarkan tiga dimensi variabel situasional tersebut, maka ada dua gaya kepemimpinan menurut Fielder, yaitu :
1. Gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas (task oriented), dan
2. Gaya kepemimpinan yang mengutamakan hubungan dengan bawahan (Human relations).

Teori contijensi dari Fielder mengatakan bahwa efektivitas suatu kelompok atau organisasi tergatung pada interaksi antara kepribadian pemimpin dan sutuasi.

Situasi dirumuskan dengan dua karasteristik, yaitu : situasi yang sangat menyenangkan (menguntungkan) dan situasi yang sangat tidak menyenangkan (tidak menguntungkan).
1. Situasi sangat menyenangkan (menguntungkan), adalah situasi dimana pemimpin menguasai, mengendalikan dan mempengaruhi situasi.
2. Situasi sangat tidak menyenangkan (tidak menguntungkan), adalah situasi yang dihadapi oleh manajer dengan ketidak pastian.


B.     MODEL KEPEMIMPINAN-VROOM YETTON

Teori kepeminmpinan vroom & yetton adalah jenis teori kontingensi yang menitikberatkan pada hal pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemimpin. Teori vroom dan yetton juga di sebut teori normative karena mengarah pada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya di gunakan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini ada 5 jenis cirri pengambilan keputusan dalam teori ini :

1.      A-I  : pemimpin mengambil sendiri keputusan berasarkan informasi yang ada padanya saat itu.
2.      A-II : pemimpin memperoleh informasi dari bawahannya dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang didapat. jadi peran bahawan hanya memberikan informasi, bukan memberikan alternatif.
3.      C-I  : pemimpin memberitahukan masalah yang sedang terjadi kepada bawahan secara pribadi, lalu kemudian memperoleh informasi tanpa mengumpulkan semua bawahannya secara kelompok, setelah itu mengambil keputusan dengan mempertimbangkan/ tidak gagasan dari bawahannya.
4.      C-II : pemimpin mengumpulkan semua bawahannya secara kelompok, lalu menanyakan gagasan mereka terhadap masalah yang sedang ada, dan mengambil keputusan dengan mempertimbangkan/tidak gagasan bawahannya
5.      G-II : pemimpin memberitahukan masalah kepada bawahanya secara berkelompok, lalu bersama – sama merundingkan jalan keluarnya, dan mengambil keputusan yang disetujui oleh semua pihak.

Contoh kepemimpinan yang menggunakan gaya kepemimpinan vroom dan yetton dalam mengambil keputusan adalah ketua Osis. Apabila dalam melaksanakan tugas mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan ketua Osis selalu meminta pendapat dari bawahannya. Dengan mengadakan rapat Osis di mana setiap anggota berkumpil dan memberikan saran atas msalah yang di hadapi. Contohnya dalam menyelenggarakan hari kemerdekaan, bagaimana acara dapat berjalan dengan lancar serta bagaimana mendapatkan dana untuk menyelenggarakan acara tersebut. Ketua Osis menampung semua pendapat dari bendahara, seksi acara, seksi humas dll.

Dari contoh di atas dapat di ambil kesimpilan bahwa ketua Osis memakai gaya kepemimpinan G-II yaitu pemimpin memberitahukan masalah kepada bawahanya secara berkelompok, lalu bersama – sama merundingkan jalan keluarnya, dan mengambil keputusan yang disetujui oleh semua pihak.

C.    MODEL PATH-GOAL DALAM KEPEMIMPINIAN

Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal, teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.

Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).

Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.


Secara mendasar, model ini menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan untuk mempengaruhi persepsi bawahan tentang pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan juga menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi dan memberikan kepuasan kepada bawahannya. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:

·         Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami  bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
·         Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)


Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).

1.      Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:

1)      Letak Kendali (Locus of Control)

Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.

2)      Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)

Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.

3)      Kemampuan (Abilities)

Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.

2.      Karakteristik Lingkungan
pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:

1)      Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.

2)      Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.

Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:

1)      Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.

2)      Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi

3)      Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.



Kamis, 12 April 2012

SEORANG PEMIMPIN BAIK YANG BERHASIL ATAU GAGAL BERDASARKAN PENDEKATAN PERILAKU DAN CIRI KHAS

Pandangan para ahli mengenai gaya kepemimpinan :

1.  Menurut William.H.Newman, kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok.
2.  Menurut Davis dan Newstrom, gaya kepemimpinan adalah suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu.
3.  Hersey dan Blanchard, Gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen yaitu : pemimpin itu sendiri, bawahan dan situasi dimana proses kepemimpinan itu terjadi.

Hubungan Kesesuaian Perilaku X dan Y dengan gaya kepemimpinan
1. Teori X
Berdasarkan ciri-ciri manusia yang termasuk dalam teori X maka kesesuaian gaya kepemimpinan yang tepat agar tujuan organisasi dapat tercapai adalah gaya kepemimpinan directing, gaya kepemimpinan coaching, dan gaya kepemimpinan otokrasi.
2. Teori Y
Berdasarkan ciri-ciri manusia yang termasuk dalam teori Y maka kesesuaian gaya kepemimpinan yang tepat agar tujuan organisasi dapat tercapai adalah gaya kepemimpinan delegating, gaya kepemimpinan participation, dan gaya kepemimpinan kendali bebas.

Macam-macam gaya kepemimpinan

1. Teori Gaya Kepemimpinan Klasik
Teori klasik gaya kepemimpinan mengemukakan, pada dasarnya di dalam setiap gaya kepemimpinan terdapat 2 unsur utama, yaitu unsur pengarahan (directive behavior) dan unsur bantuan (supporting behavior). Dari dua unsur tersebut gaya kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu otokrasi (directing), pembinaan (coaching), demokrasi (supporting), dan kendali bebas (delegating)

2. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan.
Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang
tugas serta tanggung jawab para bawahannya.

3. Gaya Kepemimpinan Bebas
Pemimpin jenis ini hanya terlibat dalam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi.

Kamis, 29 Maret 2012

BAB 4

Perilaku antar kelompok dan manajemen konflik
I.                   Dampak konflik

            Konflik dapat berdampak positif dan negatif, bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh orang yang menghadapi konflik tersebut sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
A.Dampak konflik positif
1.Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti conyoh kasus seorang karyawan, hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
Contoh kasus:seorang karyawan bagian pemasaran dan bagian produksi,seorang karyawan bagaian pemasara bertugas memasarkan produk yg diperoduksi, akibat adanya pemasaran yaitu adanya pemesanan barang dan seorang karyawan bagaian pemasaran bertugas memenuhi permintaan dari konsumen
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
Contoh kasus:seorang karyawan bagian pemasaran dan bagian produksi,seorang karyawan bagaian pemasara bertugas memasarkan produk yg diperoduksi,cara pemasaranya sekretif dan menarik  mungkin agar banyak yang berminat dengan prokud yang dipasarkan akibat adanya pemasaran yaitu adanya pemesanan barang meningkat  dan seorang karyawan bagaian pemasaran bertugas memenuhi permintaan dari konsumen,dengan upaya tersebut meningkatnya prestasi kerja dan meningkatnya penghasilan perusahan tersebut.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
B.Dampak negatif
Dampak negatif konflik  sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1.Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.


II.        Sumber Terjadinya Konflik Antara Kelompok
Penyebab Terjadinya Konflik
Segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat pasti ada sebabnya, begitu pula konflik sosial. Sebagaimana definisinya, konflik terjadi karena adanya perbedaan mendasar yang berupa perbedaan kepentingan atau tujuan dari pihakpihak yang terlibat. Konflik dapat terjadi antarindividu, antara individu dengan kelompok, antarmasyarakat dalam suatu negara,antarmasyarakat dengan negara, antarpemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antarsuku bangsa, antarpemeluk agama, antarnegara dengan kelompok ilegal, bahkan antarnegara, dan sebagainya. Pada kenyataannya, tidak semua konflik terjadi karena perbedaan kepentingan. Ada begitu banyak hal yang mampu memicu timbulnya konflik dalam masyarakat.
Leopold von Wiese dan Howard Becker (1989:86) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan konflik sosial terjadi sebagai berikut.
a. Perbedaan Antarorang
Pada dasarnya setiap orang memiliki karakteristik yang berbedabeda. Perbedaan ini mampu menimbulkan konflik sosial. Perbedaan pendirian dan perasaan setiap orang dirasa sebagai pemicu utama dalam konflik sosial. Lihat saja berita-berita media massa banyak pertikaian terjadi karena rasa dendam, cemburu, iri hati, dan sebagainya. Selain itu, banyaknya perceraian keluarga adalah buktinyata perbedaan prinsip mampu menimbulkan konflik. Umumnya perbedaan pendirian atau pemikiran lahir karena setiap orang memiliki cara pandang berbeda terhadap masalah yang sama.
b. Perbedaan Kebudayaan
Kebudayaan yang melekat pada seseorang mampu memunculkan konflik manakala kebudayaankebudayaan tersebut berbenturan dengan kebudayaan lain. Pada dasarnya pola kebudayaan yang ada memengaruhi pembentukan serta perkembangan kepribadian seseorang. Oleh karena itu, kepribadian antara satu individu dengan individu lainnya berbeda-beda. Contoh, seseorang yang tinggal di lingkungan pegunungan tentunya berbeda dengan seseorang yang tinggal di pantai. Perbedaan kepribadian ini, tentunya membawa perbedaan pola pemikiran dan sikap dari setiap individu yang dapat menyebabkan terjadinya pertentangan antarkelompok manusia.
c. Bentrokan Kepentingan
Umumnya kepentingan menunjuk keinginan atau kebutuhan akan sesuatu hal. Seorang mampu melakukan apa saja untuk mendapatkan kepentingannya guna mencapai kehidupan yang sejahtera. Oleh karena itu, apabila terjadi benturan antara dua kepentingan yang berbeda, dapat dipastikan munculnya konflik sosial. Contohnya benturan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Kepentingan buruh adalah mendapatkan gaji sebagaimana mestinya setiap bulannya. Namun, berkenaan dengan meruginya sebuah perusahaan maka perusahaan itu enggan memenuhi kepentingan buruh. Akibatnya, konflik baru terbentuk antara majikan dan buruh. Buruh menggelar aksi demo dan mogok kerja menuntut perusahaan tersebut.
d. Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang berlangsung cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan pendirian antargolongan dalam menyikapi perubahan yang terjadi. Situasi dan kondisi ini mampu memunculkan konflik baru. Misalnya semakin maju dan tinggi teknologi, para ahli pun berusaha melibatkan para balita untuk ikut menikmati teknologi tersebut yang tentunya bermanfaat bagi perkembangan intelektual bayi. Karena alasan itu, dibuatlah baby channel. Namun, perubahan ini menimbulkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat.


III.           Konsekuensi Konflik Disfungsional Antar Kelompok
a. Perubahan dalam kelompok
-          Meningkatkan kekompakan kelompok
-          Timbulnya kepemimpinan otokratis dalam situasi konflik yang ekstrim dan ketika ancaman mulai terlihat cara kepemimpinan demokratis menjadi kurang populer, para pemimpin menjadi lebih otokratis.
-          Fokus pada aktivitas
-          Menekankan pada loyalitas
b. Perubahan di antara kelompok
-          Destorsi persepsi
Persepsi dari setiap anggota kelompok menjadi terganggu, para anggota kelompok mengembangakan pendapat yang lebih kuat akan pentingnya kesatuan mereka.

-          Stereotip yang negatif
Sejalan dengan meningkatnya konflik dan presepsi menjadi lebih terganggu, semua stereotip yang negatif yang pernah ada menguat kembali.

-          Penurunan komunikasi
Dalam konflik komunikasi di antara kelompok biasanya terputus. Ini biasanya menjadi sangat tidak berguna, khususnya jika ada saling ketergantungan yang berurutan atau timbal balik.


IV.         Pengelompokan konflik antara kelompok.

Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)
• konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
• konflik antar atau tidak antar agama
• konflik antar politik.

Selasa, 20 Maret 2012

Tugas Perilaku Keorganisasian

A.  STUDI TENTANG ORGANISASI
1.            Alat untuk mencapai tujuan
Organisasi adalah wadah serta proses kerja sama sejumlah manusia yang terikat dalam hubungan formal dalam rangkaian hirarki untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Organisasi bukanlah tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan. Sebagai bagian dari administrasi, organisasi adalah merupakan wadah dimana kegiatan management dijalankan. Karena itu tujuan dari organisasi adalah juga merupakan tujuan management.
Dalam usaha mencapai tujuan keorganisasian, management memiliki peran agar proses pencapaian tujuan tersebut dapat berlangsung secara efektif (berdaya guna) dan efisien (berhasil guna). Dengan menerapkan prinsip-prinsip management seperti planning, organizing, actuating, controlling dan lain sebagainya tujuan organisasi dapat diupayakan untuk dicapai dengan lebih baik.
Management memberi efektifitas dan efisiensi kerja yang lebih baik bagi suatu organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam mencapai tujuan tersebut, management memanfaatkan sumber daya yang tersedia atau berpotensi.
CIRI-CIRI ORGANISASI
Adapun ciri-ciri dari organisasi adalah :
- Adanya komponen ( atasan dan bawahan)
- Adanya kerja sama (cooperative yang berstruktur dari sekelompok orang)
- Adanya tujuan
- Adanya sasaran
- Adanya keterikatan format dan tata tertib yang harus ditaati
- Adanya pendelegasian wewenang dan koordinasi tugas-tugas


2.            Definisi perilaku organisasi
Perilaku Organisasi adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana seharusnya perilaku tingkat individu, tingkat kelompok, serta dampaknya terhadap kinerja (baik kinerja individual, kelompok, maupun organisasi).
Perilaku organisasi juga dikenal sebagai Studi tentang organisasi. Studi ini adalah sebuah bidang telaah akademik khusus yang mempelajari organisasi, dengan memanfaatkan metode-metode dari ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi dan psikologi. Disiplin-disiplin lain yang terkait dengan studi ini adalah studi tentang Sumber daya manusia dan psikologi industri serta perilaku organisasi.
Dalam perilaku organisasi di dalamnya terdapat tiga dimensi yang berkaitan yaitu ;
1. Dimensi Konsep, Dimensi ini mencakup Ilmu pngetahuan, sosiologi, antropologi budaya dan seluaruh elemen sosial yang mempengaruhi berdirinya ilmu pengetahuan yang saling berkaitan.
2. Dimensi Sistem, Dimensi ini mencakup bagaimana proses manajemen yang dilakukan untuk melakukan suatu kegiatan secara efektif dan efisien yang di kemas dengan pendekatan-pendekatan matematis atau logika.
3. Dimensi Manusia, Dimensi iniadalah faktor penentu dalam organisasi yang tercermin dari ilmu psikologi. karena, adanya organisai adalah adanya manusia.
Ketiga dimensi diatas mencakup polosfi dasar lahirnya ilmu perilaku organisai yang terdiri dari mulitidisiplin ilmu (Antroplogi Kultural, sOsiologi, psIkolOgi dan ManJemen) sehingga dengan penedekatan ilmu-ilmu tersebut perolaku organisai dapat dibahas.dalam tatran konsep ilmu ini membahas seluruh kegiatan organisai yang di dalamnya terdapat, perilaku manusia, budaya, sosial dan sistem yang mendukung adanya organisasi tersebut. sehingga antara manusia dan organisasi dapat saling mempengaruhi.
3.            Pendekatan Mengenai Fungsi Organisasi
Teori pertama yg memiliki berkaitan dengan pendekatan ini adalah teori birokrasi yang diperkenalkan oleh Max Weber, seorang teoritis terkenal sepanjang zaman. Ia mendefinisikan organisasi sebagai sistem suatu aktivitas tertentu yang bertujuan dan berkesinambungan.
Inti dari teori Weber mengenai birokrasi adalah konsep mengenai kekuasaan, wewenang, dan litimasi. Menurut Weber, kekuasaan adlah kemampuan seseorang dalam setiap hubungan social guna mempengaruhi orang lain. Ia juga mengemukakan adanya tiga jenis kewenangan (otoritas) yaitu :
a.    Kewenangan tradisional terjadi ketika perintah atasan dirasakan sebagai suatu yg sudah pantas atau sudah benar menurut ukuran tradisi.
b.    Kewenangan birokratik merupakan bentuk yang paling relevan dalam birokrasi, karena kekuasaan diperoleh dari aturan-aturan birokrasi yang disepakati oleh seluruh anggota organisasi.
c.    Kewenangan karismatik merupakan kekuasaan yang diperoleh karena karisma dari kepribadian seseorang

Teori lain yg berhubungan dengan pendekatan struktur dan fundi organisasi adalah teori system. Menurut Chester Barnard, organisasi hanya dapat berlangsung melalui kerjasama antarmanusia, dan bahwa kerjasama adalah sarana dimana kemampuan individu dipadukan guna mencapai tujuan bersama atau tujuan yg lebih tinggi.
Sementara menurut Daniel Katzdan Robrt Kahn, sebagai suatu system social organisasi memiliki keunikan di dalam kebutuhannya guna memelihara berbagai masukan untuk menjaga agar tetap terkendali. Itu artiny, system memiliki tujuan-tujuan bersama yang mengharuskan menomor duakan kebutuhan individu-individu.

B.  PERILAKU INDIVIDU DAN PENGARUHNYA TERHADAP ORGANISASI
Variabel yang Mempengaruhi Perilaku Organisasi
A. Variabel-Variabel Dependen
Yaitu factor-faktor kunci yang ingin dijelaskan atau diperkirakan dan yang terpengaruh sejumlah factor lain (suatu respons yang dipengaruhi oleh suatu variable bebas.
Variabel-variabel dependen tersebut antara lain :
1.      Produktivitas
Yaitu suatu ukuran kinerja yang mempengaruhi keefektifan dan efisiensi.
2.      Keabsenan (kemangkiran)
Yaitu gagal atau tidak melapor untuk bekerja
3.      Pengunduran diri (keluar masuknya karyawan)
Yaitu penarikan diri secara sukarela dan tidak sukarela dari suatu organisasi
4.      Kepuasan kerja
Yaitu suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang atau selisih antara
banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka
yakini seharusnya mereka terima.
B. Variabel-Variabel Independen
1.      Variabel-variabel level individu
a.       Usia c. Status perkawinan
b.      Jenis kelamin d. Masa kerja
2.      Variabel-variabel level kelompok
3.      Variabel-variabel level system organisasi
Stress Individu
Stress adalah tekanan atau ketegangan yang dihadapi seseorang dan mempengaruhi emosi, pikiran, serta kondisi keseluruhan dari orang tersebut. Faktor pemicu stress disebut stressor
Stressor dibagi menjadi dua, antara lain :
1. Stressor On The Job (dari dalam lingkungan pekerjaan)
a. Beban kerja berlebih (overload)
b.Desakan waktu (deadline)
c. Kualitas pembimbingan rendah/low supervise
d.              Iklim politis tidak aman/low comfort
e. Umpan balik kerja rendah/low feedback
f. Wewenang tidak memadai/low authority
g.Ketidakjelasan peranan/role ambiguity
h.Frustasi/putus asa
i.  Konflik antar pribadi atau kelompok
j.  Perbedaan nilai individu dan organisasi
k.Perubahan situasi kantor yang mengejutkan
2. Stressor Off The Job (dari luar lingkungan pekerjaan)
a.       Krisis keuangan pribadi atau keluarga
b.      Permasalahan-permasalahan tentang anak
c.       Permasalahan-permasalahan tentang fisik
d.      Permasalahan-permasalahan dalam perkawinan
e.       Perubahan situasi rumah atau lingkungan
f.       Permasalahan-permasalahan lainnya
Dampak stressor dipengaruhi oleh berbagai factor yaitu :
1.      Sifat stressor
Yaitu pengetahuan individu tentang stressor tersebut dan pengaruhnya pada individu tersebut.
2.      Jumlah stressor
Yaitu banyaknya stressor yang diterima individu dalam waktu bersamaan.
3.      Lama stressor
Yaitu seberapa sering individu menerima stressor yang sama
4.      Pengalaman masa lalu
5.      Tingkat perkembangan